Social Items

Judul buku         : Ushul Fiqh (Dialog Pemikiran Hukum Islam)
Pengarang          : Syaiful Ilmi & Dr. H. Hamka Siregar, M. Ag
Penerbit              : STAIN Pontianak Press
Pengantar           : Dr. H. Hamka Siregar, M. Ag.
BAB 1
FILSAFAT HUKUM ISLAM
A.      Pendahuluan
Hukum islam bersumber pada wahyu allah yang tertulis dalam Al-qur’an dan As-sunnah. Namun, dengan seiring perkembangan dan kemajuan zaman, Al-qur’an dan As-sunnah tidak dapat mengimbangi dikarenakan masalah dalam masyarakat semakin kompleks, oleh karena itu di butuhkan orang-orang ahli hukum yang dapat memberikan pemahaman dan tafsiran terhadap al-qur’an dan As-sunnah secara sistematis dan logis agar dapat di terima masyarakat dan bisa di jadikan solusi dalam menghadapi masalah tersebut.
B.       Filsafat Hukum Islam dan Ranh Filosofis
Filsafat islam adalah jenis keilmuan baru, oleh karena itu di butuhkan pembahasan yang mendalam dan seksama, bahkan para ahli hukum menemui kesulitan dalam menafsirkan dan memberi pemahaman tentang ilmu filsafat islam agar dapat di terima masyarakat luas.

Filsafat
Kata filsafat berasal dari Philoshopia, secara umum dapat di artikan sebagai keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijaksanaan. Banyak para ahli yang mencoba mendefinisikan  tentang filsafat. Naman, para ahli filsafat mengungkapkan definisi tentang filsafat menggunakan gaya bahasa penulisan yang sangat sulit di pahami dan tentu saja ini berpengaruh terhadap tujuan dan maksud dari pengertian filsafat itu sendri.
Hukum Islam
Menurut Joseph Schacht hokum islam adalah sekumpulan aturan keagamaan, totalitas perintah allah yang mengatur perilaku kehidupan umat islam dalam segala aspeknya. Hukum islam terbentuk dari pemikiran islam yang kemudian di wujudkan dengan perilaku keseharian umat islam. Menurut Hasby hukum islam sangat identik dangan term fiqh, sebagaimana beliau menyebutkan bahwa hukum islam merupakan koleksi daya upaya fuqoha’ dalam menerapkn syari’at atas kebutuhan masyarakat, namun ada pembedaan antara term fiqh dan syari’at.
Filsafat Hukum Islam
Secara umum filsafat hokum islam adalah pemikiran ilmiah, sitematik dan dapat di pertanggungjawabkan. Muslehuddin menyamakan antara filsafat hokum islam dengan syari’at atau ushul fiqh. Pemikiran tentang hokum islam telah lahir sejak awal sejarah umat islam, contohnya mengenai perdebatan antara golongan anshar dan muhajirin, tentang siapa yang akan menjadi penerus perjuangan nabi Muhammad SAW, ini adalah bentuk sederhananya. Pada dasarnya ada tiga masalah pokok upaya manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan, yaitu objek yang ingin diketahui (ontologis), cara memperoleh pengetahuan (epistomologis), dan nilai yang di hasilkan ilmu ppengetahuan tersebut bagi manusia (aksiologis).
BAB II
FILSAFAT HUKUM ISLAM DAN HUBUNGANNYA DENGAN USHUL FIQH
A.    Pendahuluan
Fiqh identik dengan hokum islam, dimana pedoman dari hokum islam adalah  wahyu allah dan sunnah rasul sedangkan pembahasan fiqh lebih mendetail yaitu bagan terkecil dari syari’at.
B.     Filsafat Hukum Islam
Filsafat hokum islam adalah penerapan ilmu filsafat pada hokum islam. Namun pada mulanya penerapan ini tidak memiliki batasan atau aturan yang jelas.
C.    Urgensi Filsafat Hukum  Islam
Pengkajian filsafat hokum islam sangat di perlukan untuk menghadpi kemajuan dan perkembangan zaman, karna di dalam al-qur’an dan as-sunnah butuh penafsiran dan pemahaman menggunakan akal agar dapat di terima secara logis oleh masyarakat dan membuktikan bahwa hokum islam adalah hokum terbaik sepanjang zaman.
D.    Hubungan filsafat hokum islam dengan ushul fiqh
Keterkaitan antara kedua ilmu di atas ibarat kita sedang makan mi rebus, tentunya cara memakannya berbeda dengan nasi padang, dimana nasi padang dapat di makan menggunakan tangan langsung, namun sangat tidak lazim jika mi rebus dimakan menggunakan tangan langsung, tentu dalam memakan mi rebus membutuhkan sendok dan garpu. Nah, di sini mi rebus yang akan di makan sebagai hokum islam, sedok dan garpu sebagai filsafat hokum islam, sedangkan tata caranya memakan mi rebus sebagai ushul fiqh. Atau lebih tepatnya dalam mempelajari hokum islam melalui filsafat hokum islam di atur atau di beri batasan oleh ushul fiqh.
BAB III
USHUL FIQH : PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANNYA
A.    Pendahuluan
Pada waktu nabi masih hidup segala persoalan para sahabat dapat di selesaikan dengan langsung bertanya pada beliau, kemudian beliau langsung memberikan jawaban berupa ayat-ayat al-qur’an. Namun dengan seiring meninggalnya nabi, setiap ada persoalan yang datang para sahabat mencari jawabannya di al-qur’an dan as-sunnah, jika meraka tidak menemukan  secara harfiah maka mereka menggunakan nalar dan logika untuk mencari solusinya, hal ini di namakan berijtihad, yaitu mencari titik kesamaan dari persoalan yang terjadi dengan segala sesuatu yang telah di tetapkan dalam al-qur’an dan hadits. Tentunya usaha para sahabat ini di dasarkan dengan pertimbangan pada usaha “menjaga kemaslahatan umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hokum syara’.
B.     Pengertian ushul fiqh
Ushul fiqh adalah ilmu tentang aturan cara atau usaha merumuskan hokum syara’ dari dalilnya yang terinci atau aturan yang menjelaskan tentang cara-cara mengeluarkan hokum-hukum dari dalil-dalilnya. Ushul fiqh merupakan pedoman bagi seorang faqih dalam usahanya mencari tahu dan mengeluarkan hokum syar’i dari dalil-dalilnya.
C.    Urgensi ushul fiqh
Menurut Abdul Wahab Khollaf , tujuan dari ushul fiqh adalah menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasannya terhadap dalil-dalil terpeinci  untuk mendatangkan hokum syari’at islam yang di ambil dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan menurut  Amir Syarifuddin tujuan yang hendak di capai oleh ushul fiqh adalah untuk menerapakan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hokum-hukum syara’ yang bersifat amali, seperti yang ditunjuk oleh dalil-dalil tersebut. Namun, secara garis besar tujuan ushul fiqh adalah agar hokum didalam dalil-dalil dapat dipahami isi maupun maksud dari dalil-dalil tersebut agar tidak di salahartikan dan setiap permasalahan yang datang di ketemukan solusinya dan dapat di terima secara nalar maupun nurani.
D.    Pertumbahn dan perkembangan ushul fiqh
Perumusan fiqh sebernarnya sudah muncul setelah wafatnya nabi, yaitu pada periode tabiin. Para sahabat-sahabat yang mulai merumuskan lahirnya fiqh namun tidak secara sengaja diantaranya adalah Umar ibn Khattab, Ibn Mas’ud, Ali bin Abi Thalib. Sewaktu Ali menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, ia berkata :  “ bila ia minum, ia akan mabuk. Ia akan menuduh orang berzina secara tidak benar, maka kepadanya ia di berikan sanksi tuduhan berbuat zina”. Dari pernyataan Ali tersebut  akan di ketahui bahwa Ali menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbuk atau “sadd al-Dzari’ah”. Pada periode sahabat ini lah perumusan hokum semakin meluas seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang datang kemudian beberapa ulama tabiin mengeluarkan fatwa hokum untuk menjawab setiap masalah yang muncul,. Para tabiin tersebut diantaranya adalah Said Al-musyayyab di Madinah dan Ibrahim Al-Nakhai di Irak.  Tentunya para ulama ini sudah mengetahui secara baik dari ayat-ayat hokum dalam al-qur’an dan mempunyai koleksi banyak hadits.
            Ada banyak ulama yang merumuskan fiqh dengan metode yang berbeda-beda misalnya Abu hanifah dan Imam malik. Kemudian muncullah Imam Syafi’i sebagai ulama pertama yang mengkodifikasikan kaidah-kaidah ini secara sistematis dan di beri syarah yang mendalam. Dalam masa pengkodifikasian ini di tulislah kitab Ar-Risalah, dengan bekal sejuta pengalaman dari Al-Maliki langsung dan dari Muhammad Hasan Syaibani (murid Abu Hanifah) saat di Irak maupun dari pembelajaran yang ia peroleh dari perdebatan yang sedang marak terjadi di dunia islam yang ia lihat.
E.     Kitab Ar-Risalah
Pada mulanya kitab ini di beri nama kitabi (kitabku). Penamaan Ar-Risalah muncul ketika beliau mengirimkan kitab tersebut kepada salah seorang pejabat dinasti Abbasiyyah yaitu Abdurahman bin Mahdi. Kemudian kitab tersebut di tulis ulang oleh Imam Syafi’i dan menjadikannya sebagai pengantar kitab fiqhnya, Al-umm adapun sistematika kita tersebut terbagi menjadi beberapa hal-hal pokok :
1.      Pengertian, ruang lingkup dan tujuan ushul fiqh
2.      Lafadz-lafadz yang digunakan syar’I dalam Al-qur’an dan hadits sepert lafadz hakikat, majas, khas, umum, mutlaq, muqqayad, mujmal, mufassior, muhkam, mutasyabihat, dan takwil
3.      Masalah ijtihad, taklid, dan talfik
4.      Metode yang di gunakan dalam berijtihad seperti qiyas, istihsan, istislah, istishab, dan sad al-adziriyah
5.      Cara-cara yang ditempuh untuk menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan.
Dasar tersebut di jadikan pedoman oleh para ulama pengikut imam Syafi’I dan sebagian ulama mencoba mengembangkan ushul fiqh yang telah di buat Imam Syafi’i dengan cara mensyarahkan dan memperinci yang global sehingga kitab tersebut semakin baik sistematikanya.
BAB IV
AS-SUNNNAH DAN AKTUALISASINYA DALAM HUKUM ISLAM
A.    Pendahuluan
Masa silih berganti namun perdebatan seputar As-sunnah tiada henti. Dari dulu sudah ada golongan yang menolak secara keseluran as-sunnah, mereka adalah Qur’aniyyun, dimana perbuatanya hanya mendasar pada al-qur’an. Hal ini bahas oleh syafi’I dalam satu bab khusus di dalam al-um, yang di beri judul “pembahasan tentang pendapat golongan yang menolak khabar secara keseluruhan”. Secara umum topic yang selalu menjadi perdebatan adalah seputar makna dan pemahaman terhadap as-sunnah, bagaimana menempatkan dan cara-cara berinteraksi dengannya. Sebagai contoh, ada satu perbuatan yang benar-benar pernah dilakukan oleh rasulaallah, satu pihak mengganggap perbuatan tersebut adalah as-sunnah dan harus di ikuti, di lain pihak menganggap perbuatan tersebut adalah bentuk aktualisasi rasulallah sebagai manusia.
B.     Makna As-Sunah
Pada masa-masa awal as-sunnah tidak di tempatkan lebih tinggi dari sunnah orang-orang muslim terkemuka lainnya. Hal ini terbukti dengan di temukannya kitab al-muwatta’ karya imam malik, dimana isi kitab terebut becampur antara perkataan rasulallah dengan perkataan sahabat yang di riwayatkan oleh para tabi’in. Begitu juga ketika imam malik menjadikan praktik ahli madinah sebagai dalil hukumnya. Hal senada kita temukan ketika qaul sahabat di jadikan hujjah.
Pemahaman seperti ini berlangsung hingga kemunculan tesis as-syafii, yang mengatakan sunnah sejati adalah sunnah nabi. Hal ini yang harus dipahami sebelum terjadinya perdebatan panjang yang menguras tenaga, bahwa jangan sampai terjadi standar ganda dalam sebuah permbahasan dalam permasalahan.
Satu hal yang harus di pahami adalah pengertian dari as-sunnah dapat di ambil dari dua sisi, yaitu makna luas dan makna sempit, dimana makna luas merupakan definisi pada awal islam, sedangkan makna sempitnya adalah pemahaman dari para ahli ushul fiqh atau pemahaman para fuqaha.
C.    Memposisikan as-sunnah
Menurut ajaran klasik al-qur’an adalah wahyu yang matlu, sedangkan sunnah adalah wahyu yang ghair matlu. Dimana perbedaan keduanya ada di bentuk bukan isi, Al-qur’an baik teks maupun maknanya berasal dari allah dan dapat di jadikan pegangan karena memiliki kepastian yang sempurna, sedangkan as-sunnah merupakann susunan katanya hanyalah pemikiran dan hanya ke andalan maknanya saja yang terjmain.
Ada 3 fungsi sunnah dalam hubungannya dengan al-qur’an yang disepakati para ulama, yaitu :
1.      Sebagai pendukung hokum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an
2.      Menjadi penjelas hokum-hukum yang ada di dalam al-qur’an, dalam memberikan batas-batas sesuatu yang mutlak, merinci yang global atau mnetahksis keumuman al-qur’an
3.      Memeberi hokum mengenai sesuatu yang tidak di sebutkan dalam al-qur’an. Dalam hal ini sunnah mempunyai ototritas penuh dalam menentukan hokum.
D.    Mengkategorikan as-sunnah
Banyak golongan yang mengkategorikan sunnah rasulallah dengan berbagai paham, salah satunya adalah tasyri’, di mana ada segolongan kaum muslimin yang mempunya paham bahwa segala sesuatu yang bersumber pada rasulallah adalah sunnah.
Menurut sayyid ahmad khan secara tegas membedakan sunnah rasulallah membagi menjadi 4 kategori, yaitu :
1.      Yang berkaitan dengan agama (din)
2.      Yang merupakan produk situasi khusus nabi muhammad dan adat istiadat zamannya
3.      Pilihan dan kebiasaan pribadi
4.      Preseden yang berkaitan dengan urusan pokotik dan sipil.
Baginya hanya sunnah autentik kategori pertama yang dapat di klasifikasikan sebagai wahyu dan harus dilaksanakan. Ada pun Mahmud syaltout yang melakukan pengkategorian lebih jelas lagi. Beliau membagi dan membedakan sunnah menjadi tasyri’ dan bukan tasyri’. Ada juga abu Zahra yang membagi sunnah rasul dengan bahasa yang lebih ringkas, dimana beliau membagi sunnah menjadi 3, yaitu perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan penjelasan masalah agama, perbuatan yang khusus bagi rasulallah, seperti beristri lebih ddari 4 dan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sifatnya sebagai manusia biasa.
E.     Kritik sanat dan matan
Secara garis besar kritik sanat dan matan adalah proses untuk mendapatkan sunnah rasul yang benar-benar autentik, berkualitas dan dapat dipercaya yang disebut dengan hadits shahih. Dalam prosesnya para ulama menerapkan kaidah-kaidah yang banyak dan ketat dalam penyeleksiannya, hal tersebut di lakukan agar terlihat derajadnya dan hadits tersebut di kemudian hari dapat di pertanggungjawabkan keshahihannya.
F.     Hadis di persimpangan
Maksud dari hadis di persimpangan adalah bergeseknya dua pola pemikiran yang berbeda antara muhaddis dan fuqoha. Dimana muhaddis mengambil hadits yang di temui untuk menambah koleksinya, sedangkan fuqoha hanya mengambil hadits yang mempunyai nilai hokum. Hal ini menghasilkan 2 produk hokum yang berbeda.
BAB V
IJMA’ (‘AMAL AHL AL-MADINAH) DAN TANTANGAN KONTEMPORER
A.    Pembahasan
Secara garis besar ijma’ (‘amal ahl al-madinah) adalah hokum yang hanya beraku di daerah asalnya yaitu madinah. Dimana hokum tersebut terbagi menjadi 3, yaitu :
1.      Ijma’ (hokum) umat.
2.      Ijma’ (hokum) kumpulan dari pendapat para ahli hukum
3.      Ijma’ (hokum) kumpulan pendapat penguasa politik yang bersifat kedaerahan (madinah)
Dalam hal ini tentu saja ijma’ (‘amal ahl al-madinah) tidak menghadapi tantangan kontemporer karena sifatnya yang kedaerahan, apalagi jaman sekarang umat islam sudah terbagi dalam daerah dan Negara.
BAB VI
QIYAS PEMBATASAN METODE IJTIHAD PERSPEKTIF AS-SYAFI’I
A.    Pendahuluan
Al-qur’an dan hadits adalah sumber utama dalam hokum islam. Namun, apabila ada masalah yang datang tidak di temukan secara jelas solusinya di al-qur’an dan hadits maka di perbolehkan mencari solusi dengan berijtihad atau qiyas. Dimana seorang ulama mencari solusi dengan cara mencari celah persamaan, baik dari masalah dan solusinya pada al-qur’an dan hadits.
Tradisi menggunakan qiyas semakin meluas dan melebar dari masa tabi’in ke masa-masa berikutnya, sehingga para mujtahid yang menggunakan qiyass secara mandiri bertebaran di berbagai kota islam. Misalnya di kota Madinah, Makkah, Basrah, Kufah, Syam, Mesir, Qairawan, Andalus, Yaman, dan Bahgdad. Namun di kota iraklah paling menonjol dalam menggunakan qiyas. Para ulama seringkali menggunakan qiyas secara liberal.
Pada perkembangan qiyas di beri nama-nama tertentu, seperti al-qiyas, al-istilisan dan al istishlah. Dan beberapa bentuk tersebut di gunakan oleh ulama ahl al-ra’y dan ahl al-hadits.
Kemudian muncullah as-syafi’I sebagai salah satu tokoh yang memiliki pandangan bertolak belakang dengan tokoh lainnya, serta beliau termasuk salah satu tokoh ahl al-hadits yang di pandang sebagai peletak dasar metode ijtihad secara sistematis. Beliau membatasi penggunaan qiyas , yaitu di gunakan apabila kondisi darurat saja.
B.     Setting Kehidupan as-syafi’i
1.      Biografi Singkat
As-syafi’I memiliki nama  lengkap Muhammad ibn idris ibn al-abbas ibn ustman ibn syafi’I ibn saib ibn ‘ubaid ibn ‘abdi yazaq ibn hasyim ibn al muthalib ibn ‘abd manaf. Beliau dilahirkan di Ghuzzah, wilayah asqalan (syam) pada tahun150 H/767 M. Ayahnya Idris ibn Abbas adalah keturunan quraisy dari daerah tabalat, suatu desa di hijaz yang merantau ke asqalan dan menetap disana sampai kemudian memiliki anak as-syafi’i. Namun, tidak lama setelah itu Idris ibn abbas meninggal dunia ketika as-syafi’I masih dalam buaian ibunya.
Perjalanan as-syafi’I dalam mendlami hokum islam sangat lah panjang. Dimulai dari menghapal qur’an ketika kecil di tengah keluarga ayahnya hingga beliau berkelana ke pelosok-pelosok aerah demi mendalami pengetahuannya. Hingga pada akhirnya beliau pergi ke mesir hingga akhir hayatnya, setelah sebelumnya beliau pernah menjadi kepala daerah bagian najran. Namun, beliau di fitnah karna ada pejabat menaruh dengki kepada beliau. Beliau meninggalkan seorang istri bernama Hamidah binti Nai IBN ansabah ibn amr ibn utsman ibn affan yang ia nikahi ketika beliau berada di makkah sebelum pergi ke yaman. Beliau juga meninggalkan seorang putra dan dua orang putri.
2.      Kondisi social masa syafi’i
Pada masa dinasti abbasiyyah ini lah ilmu pengetahuan mencapai puncaknya, dimana banyak buku filsafat yunani yang di terjemahkan kedalam bahasa arab, hal ini membuat para ulama cenderung berfikir secara liberal. Dimasa ini setiap orang memiliki kebebasan untuk berfikir dalam melakukan ijtihad, sehingga perkembangan  hokum islam pada masa ini mencapai pada puncaknya, terlebih lagi dengan diberikannya kebebasan oleh dinasty abbasiyaah.
3.      Respon as-syafi’I terhadap kondisi social pada masanya
Reaksi as-syafi’I dalam menyikapi keadaan social-kultural pada masanya secara apresiatif , bahkan beliau sering berpergian kebebrapa wilayah islam untuk merasakannya. Namun, beliau sangat menolak penggunaan metode ihtisan, menurutnya metode tersebut menetapkan hukm secara liberal dan menimbulkan perbedaan pendapat di kaangan ulama.
C.    Qiyas
Menurut bahasa qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”.
Qiyas adalah suatu kegiatan ijtihad yang tidak di tegaskan dalam al-qur’an dan hadits. Qiyas di lakukan oleh seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis dari rumusan hokum itu. Qiyas di anggap sah bila memenuhi beberapa rukun yang telah di tetapkan dan di seakati para ulama ushul fiqh.
BAB VII
UMAR IBN AL-KHATTAB
IJTIHAD DAN MANHAJNYA
A.       Pendahuluan
Pada setiap zaman di butuhkan seorang cendekiawan yang selalu bisa mencurahkan daya pikirnya untuk menjawab permasalahan yang selalu timbul. Hal ini lah yang mendasari orang-orang selalu menggunakan nalarnya untuk menjawab segala pertanyaan yang solusinya tidak ada dalam al-qur’an dan hadits.
Salah satu tokoh yang berpengaruh besar dalam hal ini adalah umar ibn al-khattab.  Banyak sekali penalaran atau ijtihad yang dilakukan umar, sehingga menimbulkan banyak perdebatan antar ulama.
B.       IJTIHAD-IJTIHAD UMAR DAN MANHAJNYA
1.      Ijtihad selayang pandang
Banyak sekali para hli mengungkapkan pengertian tentang ijtihad, baik secara bahasa maupun istilah. Namun secara garis besar ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan nalar dalam menentukan hokum syaria’ah.
2.      Ijtihad-ijtihad umar
Ijtihad-ijtihad umar sangatlah banyak dan beragam, dan di butuhkan banyak waktu untuk melacak semua ijtihad yang pernah di keluarkan oleh umar, salah satu contoh ijtihad umar, yaitu “mencegah pemberian zakat kepada mua’alaf” dan masih banyak lagi.
3.      Manhaj ijtihad umar
Metodologi yang dilakukan oleh umar dalam menyelesaikan sebuah masalah adalah dengan cara bermusyawarah, tapi ada beberapa masalah umar langsung mengambil keputusan tanpa bermusyawar terlebih dahulu. Di samping itu semua umar adalah orang yang tidak segan-segan mencabut atau meralat perkataannya.
C.       Antara maslahat dan nash
Umar tidak akan berijtihad jika ijtihadnya melanggar nash, tentunya tujuan umar berijtihad adalah demi kemslahatan umat meskipun ada sebagian ulama yang mengikari hal ini.
D.       Antara maslahat umar dan khusus
Maslahat umar bersifat umum, tetapi umar selalu mencoba mesinergikan antara maslahat umum dan khusus meskipun keduanya saling bertentangan. Akan tetapi umar selalu mendahulukan kemaslahatan umum.
E.       Saddu adz-dzarai’ dan maslahat
Saddu adz-dzarai’ adalah upaya mencegah kemungkinan terjadinya keburukan dengan memotong jalan yang mengarah kepada keburukan dan melanggar aturan agama. Umar pernah melakukan hal ini pada beberapa kejadian. Tentunya umar melakukan hal tersebut demi kemaslahatan umat.

Ushul Fiqh (Dialog Pemikiran Hukum Islam)

Judul buku         : Ushul Fiqh (Dialog Pemikiran Hukum Islam)
Pengarang          : Syaiful Ilmi & Dr. H. Hamka Siregar, M. Ag
Penerbit              : STAIN Pontianak Press
Pengantar           : Dr. H. Hamka Siregar, M. Ag.
BAB 1
FILSAFAT HUKUM ISLAM
A.      Pendahuluan
Hukum islam bersumber pada wahyu allah yang tertulis dalam Al-qur’an dan As-sunnah. Namun, dengan seiring perkembangan dan kemajuan zaman, Al-qur’an dan As-sunnah tidak dapat mengimbangi dikarenakan masalah dalam masyarakat semakin kompleks, oleh karena itu di butuhkan orang-orang ahli hukum yang dapat memberikan pemahaman dan tafsiran terhadap al-qur’an dan As-sunnah secara sistematis dan logis agar dapat di terima masyarakat dan bisa di jadikan solusi dalam menghadapi masalah tersebut.
B.       Filsafat Hukum Islam dan Ranh Filosofis
Filsafat islam adalah jenis keilmuan baru, oleh karena itu di butuhkan pembahasan yang mendalam dan seksama, bahkan para ahli hukum menemui kesulitan dalam menafsirkan dan memberi pemahaman tentang ilmu filsafat islam agar dapat di terima masyarakat luas.

Filsafat
Kata filsafat berasal dari Philoshopia, secara umum dapat di artikan sebagai keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijaksanaan. Banyak para ahli yang mencoba mendefinisikan  tentang filsafat. Naman, para ahli filsafat mengungkapkan definisi tentang filsafat menggunakan gaya bahasa penulisan yang sangat sulit di pahami dan tentu saja ini berpengaruh terhadap tujuan dan maksud dari pengertian filsafat itu sendri.
Hukum Islam
Menurut Joseph Schacht hokum islam adalah sekumpulan aturan keagamaan, totalitas perintah allah yang mengatur perilaku kehidupan umat islam dalam segala aspeknya. Hukum islam terbentuk dari pemikiran islam yang kemudian di wujudkan dengan perilaku keseharian umat islam. Menurut Hasby hukum islam sangat identik dangan term fiqh, sebagaimana beliau menyebutkan bahwa hukum islam merupakan koleksi daya upaya fuqoha’ dalam menerapkn syari’at atas kebutuhan masyarakat, namun ada pembedaan antara term fiqh dan syari’at.
Filsafat Hukum Islam
Secara umum filsafat hokum islam adalah pemikiran ilmiah, sitematik dan dapat di pertanggungjawabkan. Muslehuddin menyamakan antara filsafat hokum islam dengan syari’at atau ushul fiqh. Pemikiran tentang hokum islam telah lahir sejak awal sejarah umat islam, contohnya mengenai perdebatan antara golongan anshar dan muhajirin, tentang siapa yang akan menjadi penerus perjuangan nabi Muhammad SAW, ini adalah bentuk sederhananya. Pada dasarnya ada tiga masalah pokok upaya manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan, yaitu objek yang ingin diketahui (ontologis), cara memperoleh pengetahuan (epistomologis), dan nilai yang di hasilkan ilmu ppengetahuan tersebut bagi manusia (aksiologis).
BAB II
FILSAFAT HUKUM ISLAM DAN HUBUNGANNYA DENGAN USHUL FIQH
A.    Pendahuluan
Fiqh identik dengan hokum islam, dimana pedoman dari hokum islam adalah  wahyu allah dan sunnah rasul sedangkan pembahasan fiqh lebih mendetail yaitu bagan terkecil dari syari’at.
B.     Filsafat Hukum Islam
Filsafat hokum islam adalah penerapan ilmu filsafat pada hokum islam. Namun pada mulanya penerapan ini tidak memiliki batasan atau aturan yang jelas.
C.    Urgensi Filsafat Hukum  Islam
Pengkajian filsafat hokum islam sangat di perlukan untuk menghadpi kemajuan dan perkembangan zaman, karna di dalam al-qur’an dan as-sunnah butuh penafsiran dan pemahaman menggunakan akal agar dapat di terima secara logis oleh masyarakat dan membuktikan bahwa hokum islam adalah hokum terbaik sepanjang zaman.
D.    Hubungan filsafat hokum islam dengan ushul fiqh
Keterkaitan antara kedua ilmu di atas ibarat kita sedang makan mi rebus, tentunya cara memakannya berbeda dengan nasi padang, dimana nasi padang dapat di makan menggunakan tangan langsung, namun sangat tidak lazim jika mi rebus dimakan menggunakan tangan langsung, tentu dalam memakan mi rebus membutuhkan sendok dan garpu. Nah, di sini mi rebus yang akan di makan sebagai hokum islam, sedok dan garpu sebagai filsafat hokum islam, sedangkan tata caranya memakan mi rebus sebagai ushul fiqh. Atau lebih tepatnya dalam mempelajari hokum islam melalui filsafat hokum islam di atur atau di beri batasan oleh ushul fiqh.
BAB III
USHUL FIQH : PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANNYA
A.    Pendahuluan
Pada waktu nabi masih hidup segala persoalan para sahabat dapat di selesaikan dengan langsung bertanya pada beliau, kemudian beliau langsung memberikan jawaban berupa ayat-ayat al-qur’an. Namun dengan seiring meninggalnya nabi, setiap ada persoalan yang datang para sahabat mencari jawabannya di al-qur’an dan as-sunnah, jika meraka tidak menemukan  secara harfiah maka mereka menggunakan nalar dan logika untuk mencari solusinya, hal ini di namakan berijtihad, yaitu mencari titik kesamaan dari persoalan yang terjadi dengan segala sesuatu yang telah di tetapkan dalam al-qur’an dan hadits. Tentunya usaha para sahabat ini di dasarkan dengan pertimbangan pada usaha “menjaga kemaslahatan umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hokum syara’.
B.     Pengertian ushul fiqh
Ushul fiqh adalah ilmu tentang aturan cara atau usaha merumuskan hokum syara’ dari dalilnya yang terinci atau aturan yang menjelaskan tentang cara-cara mengeluarkan hokum-hukum dari dalil-dalilnya. Ushul fiqh merupakan pedoman bagi seorang faqih dalam usahanya mencari tahu dan mengeluarkan hokum syar’i dari dalil-dalilnya.
C.    Urgensi ushul fiqh
Menurut Abdul Wahab Khollaf , tujuan dari ushul fiqh adalah menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasannya terhadap dalil-dalil terpeinci  untuk mendatangkan hokum syari’at islam yang di ambil dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan menurut  Amir Syarifuddin tujuan yang hendak di capai oleh ushul fiqh adalah untuk menerapakan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hokum-hukum syara’ yang bersifat amali, seperti yang ditunjuk oleh dalil-dalil tersebut. Namun, secara garis besar tujuan ushul fiqh adalah agar hokum didalam dalil-dalil dapat dipahami isi maupun maksud dari dalil-dalil tersebut agar tidak di salahartikan dan setiap permasalahan yang datang di ketemukan solusinya dan dapat di terima secara nalar maupun nurani.
D.    Pertumbahn dan perkembangan ushul fiqh
Perumusan fiqh sebernarnya sudah muncul setelah wafatnya nabi, yaitu pada periode tabiin. Para sahabat-sahabat yang mulai merumuskan lahirnya fiqh namun tidak secara sengaja diantaranya adalah Umar ibn Khattab, Ibn Mas’ud, Ali bin Abi Thalib. Sewaktu Ali menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, ia berkata :  “ bila ia minum, ia akan mabuk. Ia akan menuduh orang berzina secara tidak benar, maka kepadanya ia di berikan sanksi tuduhan berbuat zina”. Dari pernyataan Ali tersebut  akan di ketahui bahwa Ali menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbuk atau “sadd al-Dzari’ah”. Pada periode sahabat ini lah perumusan hokum semakin meluas seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang datang kemudian beberapa ulama tabiin mengeluarkan fatwa hokum untuk menjawab setiap masalah yang muncul,. Para tabiin tersebut diantaranya adalah Said Al-musyayyab di Madinah dan Ibrahim Al-Nakhai di Irak.  Tentunya para ulama ini sudah mengetahui secara baik dari ayat-ayat hokum dalam al-qur’an dan mempunyai koleksi banyak hadits.
            Ada banyak ulama yang merumuskan fiqh dengan metode yang berbeda-beda misalnya Abu hanifah dan Imam malik. Kemudian muncullah Imam Syafi’i sebagai ulama pertama yang mengkodifikasikan kaidah-kaidah ini secara sistematis dan di beri syarah yang mendalam. Dalam masa pengkodifikasian ini di tulislah kitab Ar-Risalah, dengan bekal sejuta pengalaman dari Al-Maliki langsung dan dari Muhammad Hasan Syaibani (murid Abu Hanifah) saat di Irak maupun dari pembelajaran yang ia peroleh dari perdebatan yang sedang marak terjadi di dunia islam yang ia lihat.
E.     Kitab Ar-Risalah
Pada mulanya kitab ini di beri nama kitabi (kitabku). Penamaan Ar-Risalah muncul ketika beliau mengirimkan kitab tersebut kepada salah seorang pejabat dinasti Abbasiyyah yaitu Abdurahman bin Mahdi. Kemudian kitab tersebut di tulis ulang oleh Imam Syafi’i dan menjadikannya sebagai pengantar kitab fiqhnya, Al-umm adapun sistematika kita tersebut terbagi menjadi beberapa hal-hal pokok :
1.      Pengertian, ruang lingkup dan tujuan ushul fiqh
2.      Lafadz-lafadz yang digunakan syar’I dalam Al-qur’an dan hadits sepert lafadz hakikat, majas, khas, umum, mutlaq, muqqayad, mujmal, mufassior, muhkam, mutasyabihat, dan takwil
3.      Masalah ijtihad, taklid, dan talfik
4.      Metode yang di gunakan dalam berijtihad seperti qiyas, istihsan, istislah, istishab, dan sad al-adziriyah
5.      Cara-cara yang ditempuh untuk menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan.
Dasar tersebut di jadikan pedoman oleh para ulama pengikut imam Syafi’I dan sebagian ulama mencoba mengembangkan ushul fiqh yang telah di buat Imam Syafi’i dengan cara mensyarahkan dan memperinci yang global sehingga kitab tersebut semakin baik sistematikanya.
BAB IV
AS-SUNNNAH DAN AKTUALISASINYA DALAM HUKUM ISLAM
A.    Pendahuluan
Masa silih berganti namun perdebatan seputar As-sunnah tiada henti. Dari dulu sudah ada golongan yang menolak secara keseluran as-sunnah, mereka adalah Qur’aniyyun, dimana perbuatanya hanya mendasar pada al-qur’an. Hal ini bahas oleh syafi’I dalam satu bab khusus di dalam al-um, yang di beri judul “pembahasan tentang pendapat golongan yang menolak khabar secara keseluruhan”. Secara umum topic yang selalu menjadi perdebatan adalah seputar makna dan pemahaman terhadap as-sunnah, bagaimana menempatkan dan cara-cara berinteraksi dengannya. Sebagai contoh, ada satu perbuatan yang benar-benar pernah dilakukan oleh rasulaallah, satu pihak mengganggap perbuatan tersebut adalah as-sunnah dan harus di ikuti, di lain pihak menganggap perbuatan tersebut adalah bentuk aktualisasi rasulallah sebagai manusia.
B.     Makna As-Sunah
Pada masa-masa awal as-sunnah tidak di tempatkan lebih tinggi dari sunnah orang-orang muslim terkemuka lainnya. Hal ini terbukti dengan di temukannya kitab al-muwatta’ karya imam malik, dimana isi kitab terebut becampur antara perkataan rasulallah dengan perkataan sahabat yang di riwayatkan oleh para tabi’in. Begitu juga ketika imam malik menjadikan praktik ahli madinah sebagai dalil hukumnya. Hal senada kita temukan ketika qaul sahabat di jadikan hujjah.
Pemahaman seperti ini berlangsung hingga kemunculan tesis as-syafii, yang mengatakan sunnah sejati adalah sunnah nabi. Hal ini yang harus dipahami sebelum terjadinya perdebatan panjang yang menguras tenaga, bahwa jangan sampai terjadi standar ganda dalam sebuah permbahasan dalam permasalahan.
Satu hal yang harus di pahami adalah pengertian dari as-sunnah dapat di ambil dari dua sisi, yaitu makna luas dan makna sempit, dimana makna luas merupakan definisi pada awal islam, sedangkan makna sempitnya adalah pemahaman dari para ahli ushul fiqh atau pemahaman para fuqaha.
C.    Memposisikan as-sunnah
Menurut ajaran klasik al-qur’an adalah wahyu yang matlu, sedangkan sunnah adalah wahyu yang ghair matlu. Dimana perbedaan keduanya ada di bentuk bukan isi, Al-qur’an baik teks maupun maknanya berasal dari allah dan dapat di jadikan pegangan karena memiliki kepastian yang sempurna, sedangkan as-sunnah merupakann susunan katanya hanyalah pemikiran dan hanya ke andalan maknanya saja yang terjmain.
Ada 3 fungsi sunnah dalam hubungannya dengan al-qur’an yang disepakati para ulama, yaitu :
1.      Sebagai pendukung hokum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an
2.      Menjadi penjelas hokum-hukum yang ada di dalam al-qur’an, dalam memberikan batas-batas sesuatu yang mutlak, merinci yang global atau mnetahksis keumuman al-qur’an
3.      Memeberi hokum mengenai sesuatu yang tidak di sebutkan dalam al-qur’an. Dalam hal ini sunnah mempunyai ototritas penuh dalam menentukan hokum.
D.    Mengkategorikan as-sunnah
Banyak golongan yang mengkategorikan sunnah rasulallah dengan berbagai paham, salah satunya adalah tasyri’, di mana ada segolongan kaum muslimin yang mempunya paham bahwa segala sesuatu yang bersumber pada rasulallah adalah sunnah.
Menurut sayyid ahmad khan secara tegas membedakan sunnah rasulallah membagi menjadi 4 kategori, yaitu :
1.      Yang berkaitan dengan agama (din)
2.      Yang merupakan produk situasi khusus nabi muhammad dan adat istiadat zamannya
3.      Pilihan dan kebiasaan pribadi
4.      Preseden yang berkaitan dengan urusan pokotik dan sipil.
Baginya hanya sunnah autentik kategori pertama yang dapat di klasifikasikan sebagai wahyu dan harus dilaksanakan. Ada pun Mahmud syaltout yang melakukan pengkategorian lebih jelas lagi. Beliau membagi dan membedakan sunnah menjadi tasyri’ dan bukan tasyri’. Ada juga abu Zahra yang membagi sunnah rasul dengan bahasa yang lebih ringkas, dimana beliau membagi sunnah menjadi 3, yaitu perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan penjelasan masalah agama, perbuatan yang khusus bagi rasulallah, seperti beristri lebih ddari 4 dan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sifatnya sebagai manusia biasa.
E.     Kritik sanat dan matan
Secara garis besar kritik sanat dan matan adalah proses untuk mendapatkan sunnah rasul yang benar-benar autentik, berkualitas dan dapat dipercaya yang disebut dengan hadits shahih. Dalam prosesnya para ulama menerapkan kaidah-kaidah yang banyak dan ketat dalam penyeleksiannya, hal tersebut di lakukan agar terlihat derajadnya dan hadits tersebut di kemudian hari dapat di pertanggungjawabkan keshahihannya.
F.     Hadis di persimpangan
Maksud dari hadis di persimpangan adalah bergeseknya dua pola pemikiran yang berbeda antara muhaddis dan fuqoha. Dimana muhaddis mengambil hadits yang di temui untuk menambah koleksinya, sedangkan fuqoha hanya mengambil hadits yang mempunyai nilai hokum. Hal ini menghasilkan 2 produk hokum yang berbeda.
BAB V
IJMA’ (‘AMAL AHL AL-MADINAH) DAN TANTANGAN KONTEMPORER
A.    Pembahasan
Secara garis besar ijma’ (‘amal ahl al-madinah) adalah hokum yang hanya beraku di daerah asalnya yaitu madinah. Dimana hokum tersebut terbagi menjadi 3, yaitu :
1.      Ijma’ (hokum) umat.
2.      Ijma’ (hokum) kumpulan dari pendapat para ahli hukum
3.      Ijma’ (hokum) kumpulan pendapat penguasa politik yang bersifat kedaerahan (madinah)
Dalam hal ini tentu saja ijma’ (‘amal ahl al-madinah) tidak menghadapi tantangan kontemporer karena sifatnya yang kedaerahan, apalagi jaman sekarang umat islam sudah terbagi dalam daerah dan Negara.
BAB VI
QIYAS PEMBATASAN METODE IJTIHAD PERSPEKTIF AS-SYAFI’I
A.    Pendahuluan
Al-qur’an dan hadits adalah sumber utama dalam hokum islam. Namun, apabila ada masalah yang datang tidak di temukan secara jelas solusinya di al-qur’an dan hadits maka di perbolehkan mencari solusi dengan berijtihad atau qiyas. Dimana seorang ulama mencari solusi dengan cara mencari celah persamaan, baik dari masalah dan solusinya pada al-qur’an dan hadits.
Tradisi menggunakan qiyas semakin meluas dan melebar dari masa tabi’in ke masa-masa berikutnya, sehingga para mujtahid yang menggunakan qiyass secara mandiri bertebaran di berbagai kota islam. Misalnya di kota Madinah, Makkah, Basrah, Kufah, Syam, Mesir, Qairawan, Andalus, Yaman, dan Bahgdad. Namun di kota iraklah paling menonjol dalam menggunakan qiyas. Para ulama seringkali menggunakan qiyas secara liberal.
Pada perkembangan qiyas di beri nama-nama tertentu, seperti al-qiyas, al-istilisan dan al istishlah. Dan beberapa bentuk tersebut di gunakan oleh ulama ahl al-ra’y dan ahl al-hadits.
Kemudian muncullah as-syafi’I sebagai salah satu tokoh yang memiliki pandangan bertolak belakang dengan tokoh lainnya, serta beliau termasuk salah satu tokoh ahl al-hadits yang di pandang sebagai peletak dasar metode ijtihad secara sistematis. Beliau membatasi penggunaan qiyas , yaitu di gunakan apabila kondisi darurat saja.
B.     Setting Kehidupan as-syafi’i
1.      Biografi Singkat
As-syafi’I memiliki nama  lengkap Muhammad ibn idris ibn al-abbas ibn ustman ibn syafi’I ibn saib ibn ‘ubaid ibn ‘abdi yazaq ibn hasyim ibn al muthalib ibn ‘abd manaf. Beliau dilahirkan di Ghuzzah, wilayah asqalan (syam) pada tahun150 H/767 M. Ayahnya Idris ibn Abbas adalah keturunan quraisy dari daerah tabalat, suatu desa di hijaz yang merantau ke asqalan dan menetap disana sampai kemudian memiliki anak as-syafi’i. Namun, tidak lama setelah itu Idris ibn abbas meninggal dunia ketika as-syafi’I masih dalam buaian ibunya.
Perjalanan as-syafi’I dalam mendlami hokum islam sangat lah panjang. Dimulai dari menghapal qur’an ketika kecil di tengah keluarga ayahnya hingga beliau berkelana ke pelosok-pelosok aerah demi mendalami pengetahuannya. Hingga pada akhirnya beliau pergi ke mesir hingga akhir hayatnya, setelah sebelumnya beliau pernah menjadi kepala daerah bagian najran. Namun, beliau di fitnah karna ada pejabat menaruh dengki kepada beliau. Beliau meninggalkan seorang istri bernama Hamidah binti Nai IBN ansabah ibn amr ibn utsman ibn affan yang ia nikahi ketika beliau berada di makkah sebelum pergi ke yaman. Beliau juga meninggalkan seorang putra dan dua orang putri.
2.      Kondisi social masa syafi’i
Pada masa dinasti abbasiyyah ini lah ilmu pengetahuan mencapai puncaknya, dimana banyak buku filsafat yunani yang di terjemahkan kedalam bahasa arab, hal ini membuat para ulama cenderung berfikir secara liberal. Dimasa ini setiap orang memiliki kebebasan untuk berfikir dalam melakukan ijtihad, sehingga perkembangan  hokum islam pada masa ini mencapai pada puncaknya, terlebih lagi dengan diberikannya kebebasan oleh dinasty abbasiyaah.
3.      Respon as-syafi’I terhadap kondisi social pada masanya
Reaksi as-syafi’I dalam menyikapi keadaan social-kultural pada masanya secara apresiatif , bahkan beliau sering berpergian kebebrapa wilayah islam untuk merasakannya. Namun, beliau sangat menolak penggunaan metode ihtisan, menurutnya metode tersebut menetapkan hukm secara liberal dan menimbulkan perbedaan pendapat di kaangan ulama.
C.    Qiyas
Menurut bahasa qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”.
Qiyas adalah suatu kegiatan ijtihad yang tidak di tegaskan dalam al-qur’an dan hadits. Qiyas di lakukan oleh seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis dari rumusan hokum itu. Qiyas di anggap sah bila memenuhi beberapa rukun yang telah di tetapkan dan di seakati para ulama ushul fiqh.
BAB VII
UMAR IBN AL-KHATTAB
IJTIHAD DAN MANHAJNYA
A.       Pendahuluan
Pada setiap zaman di butuhkan seorang cendekiawan yang selalu bisa mencurahkan daya pikirnya untuk menjawab permasalahan yang selalu timbul. Hal ini lah yang mendasari orang-orang selalu menggunakan nalarnya untuk menjawab segala pertanyaan yang solusinya tidak ada dalam al-qur’an dan hadits.
Salah satu tokoh yang berpengaruh besar dalam hal ini adalah umar ibn al-khattab.  Banyak sekali penalaran atau ijtihad yang dilakukan umar, sehingga menimbulkan banyak perdebatan antar ulama.
B.       IJTIHAD-IJTIHAD UMAR DAN MANHAJNYA
1.      Ijtihad selayang pandang
Banyak sekali para hli mengungkapkan pengertian tentang ijtihad, baik secara bahasa maupun istilah. Namun secara garis besar ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan nalar dalam menentukan hokum syaria’ah.
2.      Ijtihad-ijtihad umar
Ijtihad-ijtihad umar sangatlah banyak dan beragam, dan di butuhkan banyak waktu untuk melacak semua ijtihad yang pernah di keluarkan oleh umar, salah satu contoh ijtihad umar, yaitu “mencegah pemberian zakat kepada mua’alaf” dan masih banyak lagi.
3.      Manhaj ijtihad umar
Metodologi yang dilakukan oleh umar dalam menyelesaikan sebuah masalah adalah dengan cara bermusyawarah, tapi ada beberapa masalah umar langsung mengambil keputusan tanpa bermusyawar terlebih dahulu. Di samping itu semua umar adalah orang yang tidak segan-segan mencabut atau meralat perkataannya.
C.       Antara maslahat dan nash
Umar tidak akan berijtihad jika ijtihadnya melanggar nash, tentunya tujuan umar berijtihad adalah demi kemslahatan umat meskipun ada sebagian ulama yang mengikari hal ini.
D.       Antara maslahat umar dan khusus
Maslahat umar bersifat umum, tetapi umar selalu mencoba mesinergikan antara maslahat umum dan khusus meskipun keduanya saling bertentangan. Akan tetapi umar selalu mendahulukan kemaslahatan umum.
E.       Saddu adz-dzarai’ dan maslahat
Saddu adz-dzarai’ adalah upaya mencegah kemungkinan terjadinya keburukan dengan memotong jalan yang mengarah kepada keburukan dan melanggar aturan agama. Umar pernah melakukan hal ini pada beberapa kejadian. Tentunya umar melakukan hal tersebut demi kemaslahatan umat.

Tidak ada komentar